Merdeka dari Ekspektasi #254

Hari ini, sebuah utas dari Mbak @Afutami di twitter menggugah pikiran saya. Utas tersebut begitu aja nongol di beranda tanpa diundang. Perihal apakah? Perihal lima tahap pendewasaan manusia menurut Prof. Kegan dari Harvard University.

Tahap pertama disebut dengan ‘diri impulsif’. Terjadi di masa bayi atau balita di mana manusia mendefinisikan dirinya sebagai, “Saya adalah kebutuhan saya.”

Tahap kedua disebut dengan ‘diri instrumental’. Terjadi di masa anak-anak atau remaja di mana manusia mulai bertanya, “Apa yang saya butuhkan?”

Tahap ketiga adalah salah satu tahap paling krusial, yaitu tahap ‘diri tersosialisasi’. Terjadi pada masa dewasa muda ketika manusia mulai bertanya, “Bagaimana saya berhasil di mata orang lain?”

Mulailah manusia melihat dirinya dari sudut pandang orang lain. Sampai di sini kita berkenalan dengan sebuah istilah bernama ‘ekspektasi’.

Bagaimana saya berhasil di mata orang lain?

Bagaimana ekspektasi orang lain terhadap saya?

Orang tua menginginkan saya menjadi orang yang seperti apa?

Dan seterusnya.

Celakanya, 58% populasi terjebak di tahap ini dan gagal move on di tahap selanjutnya, yaitu ‘diri penggubah’ di mana manusia memiliki keyakinan bahwa, “Saya memiliki perspektif sendiri terlepas / di antara perspektif orang lain.”

Tahap ini mengizinkan kita untuk menjadi berbeda dari orang lain. Tidak apa-apa tidak selalu sama dengan orang lain. Tidak apa-apa tidak memenuhi ekspektasi orang lain. Kita boleh punya keinginan yang lain. Kita boleh berkeyakinan hal yang lain. Kita boleh memperjuangkan hal lain. Kita merdeka dari ekspektasi dengan tetap menghargai perspektif orang lain.

Perjalanan setiap manusia untuk merdeka dari ekspektasi jelas bermacam-macam. Bahkan, bisa jadi butuh paparan berulang kali agar seseorang bisa mantap berada di tahap ke-empat. Saya pribadi merasa masih naik turun di antara tahap ke-tiga dan ke-empat. Kadangkala berusaha memenuhi ekspektasi orang lain, lain waktu bisa punya perspektif sendiri yang berbeda dengan orang lain.

Akan tetapi, perjalanan saya mengenal tahap ke-empat ini sejujurnya dipermudah oleh kehadiran Bapak dalam hidup saya. Bapak adalah orang pertama mengajarkan saya untuk merdeka dari ekspektasi orang lain. Bapak jua yang mengajarkan pada saya untuk ‘tidak apa-apa’ menjadi berbeda, ‘tidak apa-apa’ pula memiliki kekurangan.

Pertama kali (sejauh yang saya ingat) Bapak mengajarkan saya untuk terbebas dari ekspektasi orang lain adalah ketika saya lulus SD. Pada saat itu, nilai saya cukup untuk masuk ke sekolah negeri. Ekspektasi setiap orang tua (dan guru) tentu adalah memasukkan anaknya (atau muridnya) ke SMP negeri terfavorit saat itu. Akan tetapi, Bapak membebaskan saya dari ekspektasi itu.

Bapak punya pikiran yang berbeda. Bapak memasukkan saya ke sekolah swasta. Jauh dari harapan orang lain terhadap saya. Orang lain mayoritas menyayangkan tindakan orang tua saya dan juga saya yang nurut-nurut aja, hehehe.

Begitu seterusnya. Saat lulus SMP, saya bisa melanjutkan ke salah satu SMA negeri yang cukup favorit, tapi lagi-lagi Bapak membebaskan saya dari ekspektasi sekolah negeri favorit itu. Saya kembali bersekolah di SMA swasta.

Saat mendaftar kuliah pun, Bapak masih membebaskan saya dari ekspektasi kebanyakan orang terhadap saya.

Bapak tidak mengharuskan saya memilih jurusan paling favorit. Jurusan favorit itu tetap dipilih pada pilihan pertama, tapi bagi Bapak pilihan kedua dan ketiga juga adalah pilihan yang baik.

Perjalanan merdeka dari ekspektasi ini masih sebuah perjalanan panjang. Proses pendewasaan ini masih akan terus berlanjut. Saya pribadi punya harapan saya bisa belajar dari setiap peristiwa yang saya alami.

Bismillah, semoga Gusti Allah mudahkan saya menjalani segala sesuatunya dan mengambil hikmah dari setiap kejadian. Aamiin, yaa rabbal ‘aalamiin.

Tinggalkan komentar