Terlahir dari Rahim Muhammadiyah #263

Ada alasan mengapa tiap kali diperdengarkan lagu Sang Surya, hati bergetar, air mata di ujung pelupuk mata, ada rasa yang telah dipendam sejak lama membuncah muncul ke permukaan. Perasaan haru. Perasaan juang. Perasaan inilah jalan yang harus dan seharusnya memang dipilih.

Ada alasan mengapa tiap kali diperdengarkan Mars Nasyiatul Aisyiyah, ada rasa perempuan mesti jadi kaum yang terdidik, perempuan mesti tidak hanya berdiam diri, menjadi penerus dan putri dari Aisyiyah. Rasa membuncah yang sama. Rasa haru yang sama. Rasa juang yang sama.

Lanjutkan membaca “Terlahir dari Rahim Muhammadiyah #263”

Berbagi dan Konsep Rezeki #262

Waktu menunjukkan pukul 22.16 WIB. Sudah larut malam, namun mata belum juga menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Bila sudah begini, ada banyak hal yang berseliweran di dalam kepala dan perlu diurai satu-persatu.

Bulan Ramadhan identik dengan bulan berbagi. Berbagi makanan untuk sahur, berbagi makanan untuk buka puasa, pun bersiap berbagi uang lebaran kepada sanak saudara. Di kampung atau di tempat kerja tertentu, berbagi kadang menjadi suatu ‘keharusan’. Ada jadwal menyiapkan makanan buka puasa hari pertama si A, si B, dan si C serta seterusnya. Ada pula di beberapa keluarga, keponakan-keponakan sudah membayangkan berapa jumlah uang hari raya yang akan mereka dapatkan.

Lanjutkan membaca “Berbagi dan Konsep Rezeki #262”

Diskusi Malam Ini #261

Malam ini diskusi berlangsung cukup panjang. Seingatku diskusi sepanjang ini (atau lebih panjang) hanya pernah terjadi saat kami berdiskusi (lebih tepatnya berdebat) tentang politik. Kawan diskusi saya adalah seorang penggemar berat Dahlan Iskan yang hampir tak pernah absen membaca disway setiap hari. Ia juga penggemar berat SBY, yang saya pun sependapat demokrasi berjalan baik selama dua periode pemerintahannya.

Diskusi malam ini berawal dari pekerjaan kantornya. Apalah dayaku yang awam soal ekonomi, apalagi akuntansi. Banyak istilah-istilah asing, yang berkali-kali harus kutanyakan apa maksudnya. Aku merespon seperti anak kecil yang tak tahu apa-apa. Lebih tepatnya, aku merespon sebisaku.


Lanjutkan membaca “Diskusi Malam Ini #261”

Pemilu 2024: Memudarnya Polarisasi #260

Pemilihan umum tahun ini sungguh menggugah nurani, menarik untuk diikuti, sehingga hari-hari hampir tak pernah terlewat mengikuti berita Pemilu.

Ini adalah ketiga kalinya saya mengikuti Pemilu. Pemilu pertama masih kecil sehingga belum tahu benar tentang alasan mengapa harus memilih si A, si B, atau yang lainnya.

Pemilu kedua saya berada di luar kota. Habis jaga malam, semalaman hampir tidak tidur karena ada pasien kritis. Paginya pulang terlambat karena kawan pengganti tak kunjung datang. Sampai kamar langsung ambruk di tempat tidur. Di tengah tidur, sempat-sempatnya masih ditelepon senior residen karena kawan pengganti belum juga datang.

Lanjutkan membaca “Pemilu 2024: Memudarnya Polarisasi #260”

Kiat Mengadakan Acara Pernikahan Tanpa Wedding Organizer #259

Pernikahan merupakan hari spesial yang setiap orang ingin acara berjalan sesuai dengan keinginannya. Keinginan setiap orang berbeda-beda. Kali ini, saya akan berbagi bagaimana kiat mengadakan acara pernikahan tanpa wedding organizer.

Ada beberapa pertimbangan mengapa kami memutuskan untuk mengadakan pernikahan tanpa wedding organizer.

Lanjutkan membaca “Kiat Mengadakan Acara Pernikahan Tanpa Wedding Organizer #259”

Seperempat Abad Lebih #258

Sudah satu tahun sejak Seperempat Abad saya tuliskan. Sejujurnya, saya merasa ‘lebih tua’ dalam artian khusus. Dulu, lebih tua hanya terasa biasa. Kini, lebih tua diiringi dengan peningkatan tanggung jawab: rasanya sudah harus benar-benar jadi manusia dewasa. Manusia yang mampu mengambil kendali atas dirinya sendiri dan berani mengambil keputusan-keputusan penting. Manusia yang mustinya bisa berdiri di atas kakinya sendiri (tentu atas izin Allah SWT).

Lanjutkan membaca “Seperempat Abad Lebih #258”

Sepertiga Awal #255

Sepertiga pertama telah saya jalani. Bagaimana rasa dan kesannya? Hmmm, bermacam-macam. Awal menjalani sepertiga pertama, saya perlu waktu untuk beradaptasi.

Jarak yang saya tempuh terbilang lumayan, 17 kilometer jauhnya. Sama seperti jarak saya dulu berangkat pulang pergi dari rumah ke kampus setiap hari. Bedanya kali ini dengan medan yang naik turun, berkelok, dan minim lampu merah juga lampu penerangan jalan.

Lanjutkan membaca “Sepertiga Awal #255”

Merdeka dari Ekspektasi #254

Hari ini, sebuah utas dari Mbak @Afutami di twitter menggugah pikiran saya. Utas tersebut begitu aja nongol di beranda tanpa diundang. Perihal apakah? Perihal lima tahap pendewasaan manusia menurut Prof. Kegan dari Harvard University.

Tahap pertama disebut dengan ‘diri impulsif’. Terjadi di masa bayi atau balita di mana manusia mendefinisikan dirinya sebagai, “Saya adalah kebutuhan saya.”

Lanjutkan membaca “Merdeka dari Ekspektasi #254”