Pemilu 2024: Memudarnya Polarisasi #260

Pemilihan umum tahun ini sungguh menggugah nurani, menarik untuk diikuti, sehingga hari-hari hampir tak pernah terlewat mengikuti berita Pemilu.

Ini adalah ketiga kalinya saya mengikuti Pemilu. Pemilu pertama masih kecil sehingga belum tahu benar tentang alasan mengapa harus memilih si A, si B, atau yang lainnya.

Pemilu kedua saya berada di luar kota. Habis jaga malam, semalaman hampir tidak tidur karena ada pasien kritis. Paginya pulang terlambat karena kawan pengganti tak kunjung datang. Sampai kamar langsung ambruk di tempat tidur. Di tengah tidur, sempat-sempatnya masih ditelepon senior residen karena kawan pengganti belum juga datang.

Segera mengenakan snelli dan berlari ke rumah sakit dengan mata setengah terbuka. Alhamdulillah senior tidak protes mengapa pengganti belum datang (kawan saya sedang memilih di tempat tinggalnya). Saya pun memilih tidur setelahnya, karena tak ada tenaga untuk pulang ke kota asal. Di rumah sakit pun tak ada TPS (Tempat Pemungutan Suara). Hmmm, berakhirlah saya tak menggunakan hak pilih saya saat itu.

Mudah-mudahan tahun ini saya bisa menggunakan hak pilih yang saya peroleh. Aamiin YRA.

Bila dalam Pemilu sebelumnya tampak sekali dua kubu yang saling bertentangan, Pemilu kali ini justru batas-batasnya terlihat bias. Swing voters jumlahnya tampak lebih banyak. Pemilih sewaktu-waktu dapat merubah pilihannya karena kondisi perpolitikan yang dinamis.

Ada upaya untuk tidak menormalisasi polarisasi di masyarakat. Tidak ada itu kadrun vs cebong. Demokrasi tampak terasa lebih nyata. Masing-masing dapat mengutarakan pendapatnya. Berbeda pendapat diperbolehkan, silaturahmi tetap jalan. Jangan sampai terjadi perpecahan karena perbedaan pilihan.

Sejak awal saya sudah memantapkan pilihan saya kepada pasangan 1. Alasannya karena rekam jejak Pak Anies Baswedan sebelumnya. Beliau alumni AFS, akademisi, juga menyelesaikan jabatannya sebagai gubernur di DKI Jakarta. Alasan lainnya adalah karena ada pelanggaran etik pada pasangan lain yang memastikan saya tak akan memilih pasangan nomor tersebut.

Salah satu pernyataan Pak Anies yang cukup membekas di ingatan saya adalah ketika beliau berpesan kepada para pendukungnya untuk fokus menyampaikan visi misi yang diusung pasangan nomor 1. Baik itu kepada pendukung nomor 1 ataupun bukan pendukung nomor 1. Rangkul semua golongan. Hindari menjelekkan pasangan lain. Di situlah saya merasa beliau bijaksana dan demokrasi benar-benar berjalan.

Ucapan seorang pemimpin akan mempengaruhi bagaimana orang lain bekerja. Ucapan beliau tampak sederhana, namun maknanya besar. Ucapan pemimpin yang demikianlah yang akan mengurangi potensi konflik di akar rumput. Ucapan yang menghimbau agar tidak menyampaikan kejelekan orang lain. Cukup fokus pada kebaikan dan perubahan yang ditawarkan. Ucapan seperti inilah yang mengurangi risiko polarisasi.

Bismillah, mudah-mudahan Pemilu kali ini dapat menghasilkan pemimpin terbaik untuk Indonesia selama 5 tahun ke depan. Lebih penting, demokrasi berjalan dengan baik. Polarisasi tak lagi terjadi. Tak ada konflik karena perbedaan pilihan. Satu lagi, seperti pesan Pak Anies, membesarkan yang kecil tanpa mengecilkan yang besar mudah-mudahan dapat terwujud. Aamiin YRA.

Tinggalkan komentar