Diskusi Malam Ini #261

Malam ini diskusi berlangsung cukup panjang. Seingatku diskusi sepanjang ini (atau lebih panjang) hanya pernah terjadi saat kami berdiskusi (lebih tepatnya berdebat) tentang politik. Kawan diskusi saya adalah seorang penggemar berat Dahlan Iskan yang hampir tak pernah absen membaca disway setiap hari. Ia juga penggemar berat SBY, yang saya pun sependapat demokrasi berjalan baik selama dua periode pemerintahannya.

Diskusi malam ini berawal dari pekerjaan kantornya. Apalah dayaku yang awam soal ekonomi, apalagi akuntansi. Banyak istilah-istilah asing, yang berkali-kali harus kutanyakan apa maksudnya. Aku merespon seperti anak kecil yang tak tahu apa-apa. Lebih tepatnya, aku merespon sebisaku.


Seringkali kawan diskusi saya ini gemas. Karena baginya saya terlalu ‘angel‘ (baca dalam bahasa Inggris). Saya sampaikan padanya, “Aku paham, tapi aku punya perspektif yang berbeda.” Barangkali sebenarnya dia juga gemas jika diriku bertanya istilah-istilah yang bagiku asing, tapi baginya adalah makanan sehari-hari.

Seperti tadi saat kunyatakan, “Tapi kalo dari perspektif Dik yang awam akuntasi dan awam bisnis (kalimat ini sengaja saya tekankan di awal —supaya kawan diskusi saya tidak gemas), bila secara objektif dinyatakan perusahaannya merugi, justru hal tersebut akan menjadi bahan evaluasi untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Di mana letak loss-nya atau bila tidak loss, maka apakah perusahaan kurang produktif sehingga tidak dapat menghasilkan laba. Kemudian bagaimana cara meningkatkan produktivitas perusahaan agar bisa menghasilkan laba.” Ucap diriku menggunakan istilah yang terdengar profesional (sebisaku).

Kenyataannya memang tidak semua manajemen perusahaan berpikir demikian.

Diskusi bergulir ke berbagai arah. Entah bagaimana ujungnya bisa sampai kepada ide mengenai bagaimana jika seluruh orang kaya di Indonesia (terlepas dari apapun agamanya) membayar zakat mal 2,5% saja dari total harta yang dimilikinya. Akan ada banyak orang yang terbantu.

Kawan diskusi saya sibuk berhitung. Tentu saja ia menghitung lebih cepat dibanding saya yang ketika menghitung dosis masih perlu kalkulator. Dari hitungan tersebut muncul sekian ratus miliyar dari orang-orang terkaya di Indonesia. Bayangkan berapa banyak masyarakat Indonesia yang akan mendapat manfaat?

Bahkan ketika kita tidak mengambil apapun dari orang lain, 2,5% harta yang kita miliki (bila sudah mencapai nisab dan haul) sebenarnya adalah milik orang lain. Bayangkan bagaimana bila orang-orang terkaya itu mengembalikan 2,5% saja dari hartanya kepada mereka yang menjadi pemilik sebenarnya (tujuh orang mustahiq)?

Mengutip kawan diskusi saya, hal itu akan meringankan banyak orang. Kawan saya tak berani mengatakan kemiskinan akan hilang, tapi secara realistis akan ada banyak orang yang diringankan dan terbantu dengan hal tersebut.

Mudah-mudahan seberapapun kemampuan yang kita miliki. Kita akan selalu ingat untuk berbagi. Selalu ingat untuk mengembalikan hak yang orang lain miliki. Mudah-mudahan harta tidak melenakan kita. Karena kehidupan dunia sesungguhnya hanyalah permainan dan senda gurau belaka.

Tinggalkan komentar