Sepertiga Awal #255

Sepertiga pertama telah saya jalani. Bagaimana rasa dan kesannya? Hmmm, bermacam-macam. Awal menjalani sepertiga pertama, saya perlu waktu untuk beradaptasi.

Jarak yang saya tempuh terbilang lumayan, 17 kilometer jauhnya. Sama seperti jarak saya dulu berangkat pulang pergi dari rumah ke kampus setiap hari. Bedanya kali ini dengan medan yang naik turun, berkelok, dan minim lampu merah juga lampu penerangan jalan.

Kurang lebih sebulan lamanya saya merasakan tekanan di ruang telinga tengah meningkat tiap kali masuk ketinggian tertentu. Tapi bersyukur sebulan terakhir saya sudah terbiasa. Padahal ya cuma naik bukit saja, bukan gunung.

Hal yang menyenangkan dari perjalanan di sepertiga awal adalah pemandangannya. Banyak pohon di kanan kiri jalan. Bahkan ada saat saya harus melewati hutan. Udara pagi sedikit lebih dingin dan segar dibanding kami yang berada di bawah. Kabut pagi muncul beberapa kali di akhir perjalanan saya menuju ke sana.

Hal menyenangkan selanjutnya adalah waktu perjalanannya hanya memakan 30-35 menit. Ah, sungguh menyenangkan menempuh jarak sejauh itu dengan kecepatan 40-50 km/jam bisa sampai dalam setengah jam. Inilah kekuatan dari tidak adanya lampu merah 😊. Saya jadi hampir tak pernah terburu-buru saat berangkat ke sana.

Orang-orang di sana juga baik. Hampir semuanya santai. Santai tapi terlaksana. Efektif dan efisien. Berpikir sederhana dan mempermudah orang lain. Kami pun dijamu dengan sangat baik. Kami juga bisa pulang lebih awal dan mendapat jatah libur lebih. Secara keseluruhan hampir semuanya menyenangkan.

Yang baru saya sadari selanjutnya adalah, menempuh jarak sejauh itu dengan medan yang naik turun ternyata cukup memakan energi. Saya sering langsung tidur siang begitu sampai di rumah 😵😵😵.

Perbedaannya baru saya rasakan saat saya berada di tempat yang lebih dekat. Saat ini, saya masih punya energi untuk melakukan hal lainnya sepulang bekerja. Meski malamnya, masih sering ketiduran juga 😅.

Sepertiga awal ini berkesan. Sepertiga awal ini baik. Sepertiga awal ini terasa seperti perkenalan sebelum situasi yang sebenarnya. Sepertiga awal ini sepertinya adalah beban kerja yang paling ringan.

Salah satu hal paling berkesan adalah ketika satu kali saya pulang malam setelah magrib. Jujur agak takut. Bersyukur ada pegawai yang rumahnya sejalan. Beliau di belakang, saya di depan. Kami menyetir motor beriringan. Malam gelap, tak ada lampu penerangan. Kanan kiri hutan, kadang jurang, dengan hanya garis merah penanda pagar di beberapa ruas jalan. Sungguh menegangkan tapi alhamdulillah berhasil pulang dengan selamat.

Terima kasih sepertiga awal. Terima kasih semua orang yang ada di sana. Semoga kebaikan dan pengabdian yang semua orang lakukan di sana bernilai pahala yang terus mengalir manfaatnya. Tidak banyak orang yang mampu bertahan di sana. Saya yakin mereka semua adalah pribadi-pribadi yang istimewa. Terima kasih telah menerima kami dengan baik. Sampai bertemu di lain ruang dan kesempatan.

Satu respons untuk “Sepertiga Awal #255

Tinggalkan komentar